Di suatu perkampungan miskin, tinggal sebuah keluarga kaya raya. Rumahnya bak istana, meski di kelilingi rumah-rumah gubuk dan satu dua rumah sangat sederhana. Selain tuan tanah, keluarga ini juga pedagang sekaligus rentenir.
Suatu hari anak-anaknya yang sudah beranjak dewasa dipanggil, ditanyai satu persatu tentang permintaannya. Yang pertama minta rumah dan modal kerja. Yang kedua minta mobil. Yang ketiga minta sekolah di luar negri. Begitu setrusnya, sampai pada anak yang terakhir. Si bungsu ini ketika ditanya, dengan tersipu-sipu berkata, “Malu, Bu !”.
Tanpa diduga sang Ibu menyahut, “Jika itu yang kau minta, terus terang, ibu tidak punya.”
Kisah ini tentu saja sekadar anekdot. Tetapi jangan sampai kita merasa tersindir olehnya, sekalipun kita bukan jutawan. Bukankah, soal hilangnya rasa malu, semua orang punya kemungkinan untuk mengalaminya?
Malu, pada masa kini menjadi barang yang semakin langka. Orang yang punya sifat malu semakin sedikit jumlahnya. Muka-muka tebal semakin banyak dan menyebalkan. Padahal inilah sumber bencana.
Dalam Islam, malu merupakan seumber ajaran moral. Malu merupakan karakter dasar yang membedakan moral islam dengan lainnya. Rasulullah menegaskan hal ini dalam sabdanya :
“Sesungguhnya semua agama itu punya moral, sedang moral Islam itu adalah malu.” (HR. Imam Malik)
Malu merupakan alat kontrol dan pengendali yang ampuh. Orang yang masih punya rasa malu akan berpikir seribu kali jika hendak melakukan sesuatu yang hina. Mereka malu jika sampai perbuatannya diketahui orang lain. Mereka juga malu pada dirinya sendiri. Selanjutnya mereka malu kepada ALLAH SWT.
Seorang muslim akan selalu menjaga kehormnatan dirinmya dimuka umum. Pertama-tama ia merasa malu jika mendekati tempat-tempat yang biasa digunakan untuk maksiat. Meskipun tidak berniat melakukan kemaksiatan, siapa yang dekat-dekat bias terkena fitnah. Sebab bias saja muncul prasangka pada mereka yang melihatnya berkeliaran di tempat kotor.
Kedua, jika terlanjur melakukan perbuatan salah, ia berusaha untuk menyembunyikannya. Ia malu jika perbuatan itu sampai terlihat atau terdengar orang. Dalam dirinya timbul rasa penyesalan yang mendalam, juga permohonan ampunan. Ia rahasiakan kesalahannya serapat mungkin, bahkan kepada ALLAH ia meminta agar kesalahannya ditutupi.
Sikap seperti ini bukan termasuk kategori munafik, karena dilandasi rasa malu jika perbuatan jeleknya diketahui orang lain. Berbeda halnya dengan mereka yang sudah tidak punya lagi rasa malu. Mereka terang-terangan melakukan perbuatan maksiat di muka umum. Mereka tidak merasa perlu menyembunyikannya, bahkan kadang bagga menceritakannya kepada orang lain.
Adalah kesalahan besar, jika seseorang melakukan maksiat di malam hari kemudian menceritakannya keesokan harinya, padahal ALLAH telah menutupinya hingga pagi. Lebih jahat lagi jika ada rasa bangga menceritakan keburukan itu. Orang seperti ini sudah tidak punya malu lagi.
Malu adalah bagian dari iman. Keduanya merupakan dua sejoli yang tidak bias dipisahkan. Antara keduanya terjalin suatu kaitan yang erat dan utuh. Tidak beriman orang yang tidak punya perasaan malu. Sebaliknya, tiada malu bagi orang yang tak beriman. Tentang hal ini Rasulullah menegaskan :
“Rasa malu dan iman sebenarnya berpadu menjadi satu, maka bilamana lenyap salah satunya, maka lenyap pula yang lainnya.” (HR. Al Hakim)
Antara malu dan iman itu bagaikan dua sisi mata uang. Bila salah satu sisinya kosong, maka bukan mata uang lagi namanya. Uang tidak bias dijadikan alat tukar, dan tidak laku di pasaran, bahkan pembawanya bisa dituntut sebagai pelaku pemalsuan.
Rasa malu itu tidak akan berdampak kecuali kebagusan. Siapapun yang menyandang perasaan ini, pasti menjadi bagus. Tutur katanya teratur tanpa kata-kata kotor dan kasar. Hati-hati dalam berbuat, karena merasa selalu dalam pantauan. Dinding-dinding tembok seakan ikut memperhatikan, pepohonan yang rindang ikut menjadi saksi, binatang dan makhluq hidup lainnya seakan ikut memandang. Tumbuh perasaan malu kepada alam.
Sebenarnya, orang seperti ini tidak saja malu kepada alam, tetapi lebih jauh ia malu kepada pencipta alam, ALLAH SWT. Bagaimana kita tidak malu kepada ALLAH, sedang kita makan dari kemurahan-Nya, bernafas dengan udara-Nya, berjalan di atas bujmi-Nya, dan bernaung di bawah langit-Nya ?
Sangat keterlaluan jika ada di antara kta yang tidak malu kepada ALLAH, sementara nikmat ALLAH tak ada putus-putusnya dikaruniakan kepada kita. Jika dihitung, tak ternilai banyaknya. Rasulullah berpesan, “Malulah kamu kepada ALLAH dengan sebenar-benarnya.” Kami berkata, ‘Alhamdulillah, kami sudah merasa malu kepada ALLAH, wahai Rasulullah’. Selanjutnya Rasulullah bersabda, ‘Bukan begitu, bukan sekadar bicara. Malu kepada ALLAH yang sebenar-benarnya ialah hendaknya kalian memelihara kepala dan isinya, memelihara perut serta isi kandungannya, memelihara hati dan kebusukannya. Barang siapa mengharapkan kehidupan akhirat, ia tidak terpedaya hiasan dunia. Barang siapa melaksanakan itu semua, maka ia telah merasa malu kepada Tuhannya dengan sebaik-baiknya.” (HR. Turmudzi)
Malu merupakan sumber kebaikan dan kebagusan. Perasaan malu akan membawa semua orang kepada jalan kebenaran. Malu tak ubahnya dengan pagar jembatan yang besar sekali fungsinya bagi yang melewati. Tanpa pagar itu orang mudah tercebur ke sungai. Rasulullah mempersonifikasikan rasa malu ini dengan indah sekali lewat sabdanya, “Jika rasa malu diumpamakan seorang laki-laki, maka ia ibarat seorang laki-laki yang shalih. Sebaliknya, seandainya sifat keji itu diumpamakan seorang laki-laki, maka ia adalah lelaki yang jahat.” (HR. Thabrani)
Ada hubungan yang jelas antara iman, rasa malu dan kebaikan. Sebaliknya ada juga kaitan antara hilangnya rasa malu dengan tindak kejahatan. Adapun antara rasa malu dengan kejahatan tidak pernah bias disatukan. Keduanya selalu bertentangan, bagaikan gelap dengan terang. Jika gelap dating, maka terang menghilang. Begitu sebaliknya.
Orang-orang yang melakukan korupsi, kolusi dan manipulasi pada dasarnya adalah mereka yang tidak punya rasa malu. Ia tidak malu kepada rakyat yang dipimpinnya. Tidak malu kepada hati nuraninya sendiri. Ia juga tidak malu kepada ALLAH SWT. Ia hanya malu kepada syetan.
Jika masih ada rasa malu semestinya semua yang terlibat dalam manipulasi Eddy Tansil segera mundur dari jabatannya. Bagaimana bias tetap menampakkan wajahnya kepada rakyat sementara mereka bergelimang dengan berbagai dosa ? Semestinya mereka menyembunyikan wajahnya, undur diri dari jabatannya.
Demikian halnya dengan kasus yang baru-baru ini terjadi. Jika benar bahwa proyek Busang hanya akal-akalan yang dilakukan oleh pengusaha petualang, sungguh sangat memalukan !
Bagaimana mungkin bangsa besar yang penduduknya mencapai 200 juta bias dipermainkan oleh segelintir orang ? Apakah di sini tidak ada orang ahli ? Apakah keahlian kita sekedar meneken kontrak karya ? Siapa yang paling bertanggung jasab dalam kasus ini ?
Inilah susahnya jika rasa malu telah hilang dari masyarakat kita. Sudah dipermalukan masih saja berkelit. Sudah coreng-moreng muka kita masih bias bergaya.
Jika ALLAH hendak membinasakan suatu bangsa, maka yang pertama dilenyapkan adalah perasaan malu. Jika malu tidak ada, maka orang akan berbuat semaunya. Kemungkaran segera merajalela, tindak kejahatan terjadi dimana-mana. Orang tidak lagi peduli dengan apapun dan tidak khawatir dengan celaan siapapun. Perilakunya menjadi ganas, tak segan-segan berbuat aniaya terhadap siapapun.
Jika para wanita sudah tidak lagi malu memamerkan auratnya dan kaum laki-laki tak segan melecehkannya, maka bias diduga apa akibatnya.
Jika penjahat tal lagi segan melakukan aksinya di muka umum, mak itu pertanda kiamat telah tiba. Biar ‘dipetrus’ berkali-kali tetap akan muncul lagi. Bahkan mereka akan bertambah brutal lagi. Semakin kejam dan sadis.
Tidak ada cara yang paling ampuh untuk menanggulangi segala tindak kejahatan kecuali menumbuhkan iman dan rasa malu. Jika iman dan rasa malu menghiasi setiap orang, maka negara itu dijamin pasti aman.