Rabu, 25 Juni 2008


DAMPAK LAHIRNYA UNDANG – UNDANG PERBANKAN SYARIAH TERHADAP PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Oleh Irwan Irwan, SE


Rancangan Undang – Undang Perbankan Syariah akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR hari Selasa, 17 Juni 2008 setelah 6 tahun berproses yang disetujui oleh 9 fraksi dari 10 fraksi yang ada di DPR, 1 fraksi yang menolak adalah Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS). Ini berarti, kini perbankan syariah memiliki payung hukum yang diharapkan semakin menguatkan eksistensi perbankan syariah di Indonesia.

Dengan semakin jelasnya peraturan tentang perbankan syariah, diharapkan dapat menggenjot kinerja perbankan syariah di Indonesia untuk lebih berkontribusi nyata dalam memajukan perekonomian Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dimana tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi, yaitu 16,58 persen atau sekitar 37,17 juta dari total penduduk Indonesia karena perbankan syariah memiliki karakteristik unik yaitu berperan dalam mendukung sektor sosial disamping fungsi utamanya sebagai lembaga komersial.

Disamping itu, UU tersebut akan memperbesar peluang potensi masuknya pembiayaan dari negara-negara Timur Tengah Investor-investor asal TimurTengah yang berminat untuk menyuntikkan dana sekitar lima hingga tujuh milliar dolar AS. Hal itu dupertegas dalam pertemuan tahunan ke-3 Arab Asian Financial Forum pada 5-6 Juni 2008 lalu di Jakarta.

Beberapa implikasi yang mungkin terjadi dari lahirnya UU Perbankan Syariah antara lain :
1. Jaminan kepastian hukum.
Jaminan Kepastian hukum menjadi hal yang paling mendasar sekaligus penting dari lahirnya UU Perbankan Syariah bagi pelaku usaha dan pengguna jasa perbankan berbasis syariah yang selama ini masih merasa belum aman dan bergerak leluasa dalam melakukan aktivitasnya di industri perbankan syariah Indonesia.

Disamping itu juga yang tidak kalah penting, jaminan kepastian hukum ini akan menarik investor asing terutama investor Timur Tengah untuk menanamkan investasinya secara aman ke perbankan syariah Indonesia baik dalam bentuk dana investasi sektor usaha komersil maupun dana-dana program yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penghapusan kemiskinan.

2. Peningkatan Dukungan Pemerintah.
Dengan lahirnya ketentuan yang mengatur perbankan syariah dalam bentuk Undang – Undang akan semakin meningkatkan dukungan pemerintah yang lebih nyata dalam memajukan perbankan syariah dalam beberapa hal yang hingga sekarang masih menghambat target perkembangan perbankan syariah Indosesia, diantaranya

Pertama , Peningkatan Sosialisasi kepada masyarakat yang masih belum memiliki pemahaman dan wawasan yang minim terhadap bank syariah. Dengan adanya UU tersebut maka secara formal, sosialisasi perbankan syariah akan mememasuki institusi – institusi formal terutama dalam kurikulum pendidikan di sekolah –sekolah yang memuat materi tentang perbankan syariah sehingga sosialisasi akan semakin luas dan berpotensi meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah yang masih kecil sekali dibanding pangsa pasar perbankan konvensional pada umumnya

Kedua ,Peningkatan Permodalan perbankan syariah, terutama mendukung penetrasi penawaran investasi kepada investor Timur Tengah dalam hal ini pemerintah melalui instansi-instansi yang berkaitan akan turut mempromosikan perbankan syariah di mata para investor tersebut dengan berbagai proyek – proyek yang dapat disinergiskan antara pemerintah dan perbankan syariah.

Ketiga, Memperluas Jaringan Perbankan Syariah yang belum menjangkau luas hingga ke seluruh wilayah Indonesia, diharapkan peran ini dapat didukung juga oleh pemerintah.

3. Penerbitan Peraturan Pelaksanaan UU Perbankan Syariah
Dengan disahkannya UU Perbankan Syariah tersebut, segala peraturan dan ketentuan yang mengatur operasionalisasi perbankan syariah sebelumnya harus mengalami penyesuaian yang mengacu pada UU tersebut baik ketentuan yang ada di pemerintah maupun ketentuan di Bank Indonesia (BI).

Namun demikian perbankan syariah tetap akan berada di bawah regulasi Bank Indonesia. Sedangkan, masalah penerapan tatakelola sesuai syariah akan berada di bawah pengawasan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kedepannya, MUI akan memiliki perwakilan di BI sebagai Dewan Pengawas Syariah.

Dengan demikian Bank Indonesia akan segera melakukan penyesuaian Peraturan Bank Indonesia berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU Perbankan Syariah karena ada 26 peraturan BI yang harus disesuaikan diantaranya mengenai Masalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), pembentukan komite perbankan syariah, agunan, dan peraturan mengenai spin off dari unit-unit syariah ke bank umum syariah.

4. Penguatan sinergi pasar keuangan berbasis syariah
Dengan keberadaan UU Perbankan Syariah bersama dengan UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang sama-sama baru disahkan, keduanya akan saling mengisi dan sinergi dalam upaya memenangkan pasar keuangan berbasis syariah, yang sekarang ini telah menjadi bagian dari sistem keuangan global.

Disisi lain keduanya saling melengkapi dan saling membutuhkan satu sama lainnya dalam menyediakan instrumen bagi investasi di industri keuangan syariah, khusunya di Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan negara – negara lainnya seperti Malaysia dan Singapura

Namun demikian, perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia tidak hanya sampai disini, masih terdapat beberapa hal yang harus terus diperbaiki dan dikembangkan lebih lanjut sebagai tantangan Perbankan Syariah kedepan diantaranya :
1. Kepastian hukum tentang mekanisme penyelesaian sengketa
Dalam UU Perbankan Syariah belum memuat secara pasti mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat terjadi antara nasabah dan bank syariah terutama mengenai lembaga peradilan yang bertanggung jawab mengurus tentang sengketa tersebut

2. Batasan Yang Jelas antara peran BI dan DSN-MUI
Perlu kejelasan lebih lanjut dalam pembagian tugas antara Bank Indonesia (BI) dan Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia dalam peranannya sebagai pengawas sekaligus regulator dalam pelaksanaan operasionalisasi perbankan syariah di Indonesia.Kejelasan ini perlu agar tidak terjadi benturan kewenangan pada saat UU Perbankan Syariah diberlakukan.

3. Peningkatan kualitas sumber daya insani perbankan syariah Indonesia
Saat ini SDI yang dimiliki bank syariah kurang memadai yang memiliki kompetensi yang tidak hanya di bidang perbankan tetapi mencakup pula aspek syariahnya dalam praktik perbankan.

Lahirnya UU tersebut akan menguji sejauh mana pelaku perbankan syariah bisa mengakselerasi peningkatan kualitas kinerjanya dalam membangun perekonomian nasional setelah memiliki payung hukum. Jika beberapa waktu lalu beralasan belum memiliki payung hukum sehingga tidak bisa bergerak leluasa atau ragu bergerak. Kini, setelah disahkannya UU itu diharapkan keraguan itu tidak ada lagi sehingga bisa secara komersial maupun sosial bisa bergerak dengan leluasa sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dalam membangun perekonomian nasional.

Selasa, 06 Mei 2008

HIDUPLAH SEDERHANA
Di antara sesuatu yang menyempurnakan apa yang telah kita sebutkan di atas adalah apa yang ditekankan oleh Islam berupa mengatur pengeIuaran harta dan mendorong untuk sederhana dalam berinfaq. Inilah sifat yang dimiliki oleh 'lbadurrahman, Allah berfirman: "Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (Al Furqan: 64)
Tersirat juga dalam wasiat Luqman Al Hakim kepada puteranya, sebagaimana disebutkan dalam surat Al Isra': 29.
Sikap sederhana itu semakin ditekankan ketika pemasukan seseorang itu sangat minim, misalnya pada masa-masa paceklik dan kelaparan, sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Nabi Yusuf AS. Dengan cara menekan atau mengurangi pengeluaran pada tujuh tahun musim subur sehingga bisa disimpan dan dimanfaatkan ketika musim kering. Allah berfirman:
"Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya (tangkainnya) kecuali sedikit untuk kamu makan." (Yusuf: 47)
Kemudian memperkecil pengeluaran sekali lagi pada tujuh tahun kekeringan dengan keputusan darurat dan pendistribusian simpanan pada tahun-tahun krisis secara merata.
"Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan." (Yusuf: 48)
Ungkapan "Apa yang kamu simpan untuk menghadapinya" itu membuktikan bahwa apa yang dikeluarkan itu sesuai dengan perhitungan dan perencanaan. Ini menunjukkan kesederhanaan.
Amirul Mukminin Umar Al Faruq pada tahun-tahun kesulitan benar-benar berkeinginan agar pada setiap rumah yang ada pada mereka sisa-sisa kemakmuran untuk menyalurkan sebagian darinya kepada orang yang susah kondisinya dan minim pemasukan mereka. Beliau berkata, "Sesungguhnya manusia tidak akan punah dengan separuh perut mereka,inilah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah SAW "Makanan satu orang mencukupi dua orang, dan makanan dua orang mencukupi empat orang." (HR. Muslim)
Sesungguhnya kaidah Istikhlaf (peminjaman dari Allah) yang telah kami sebutkan sebelum ini menjadikan seorang Muslim terikat di dalam pengeluaran harta dan infaqnya, sebagaimana dia juga harus membatasi diri dalam menginvestasikan dan mengembangkan harta tersebut.
Islam tidak melarang seorang Muslim terhadap kelayakan hidup, sebagaimana itu di larang oleh sebagian agama dan filsafat, seperti kaum Brahma di India dan Manawiyah di Persia dan Rawaqiyah Yunani dan kependetaan dalam agama Nasrani. Akan tetapi Islam melarang kita untuk "tidak mau menikmati" atau "berlebihan dalam menikmati" itu semua. Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al Maidah: 87)
"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan dan syetan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (Al Isra' 26-27)
Perbedaan antara tabdzir (pemborosan) dan israf (berlebihan) adalah, kalau israf itu melebihi batas dalam hal yang halal, tetapi tabdzir adalah berinfaq di dalam hal yang diharamkan, meskipun hanya satu dirham atau kurang dari itu.
Dari sinilah kita wajib menjaga dan memperhatikan prinsip-prinsip dasar dalam berinfaq, antara lain sebagai berikut
1. Berinfaq kepada diri sendiri dan keluarga
Maka tidak boleh bagi pemilik harta menahan tangannya dari berinfaq wajib terhadap diri dan keluarganya karena pelit dan bakhil, takut hidup melarat atau berpura-pura zuhud. Islam melarang kita untuk pelit dan memperingatkan akan hal itu dan menganggapnya sebagai sumber kerusakan yang merata. Rasulullah SAW bersabda:
"Hati-hatilah (hindarkanlah dirimu) dari pelit, sesungguhnya ummat sebelum kamu itu rusak disebabkan sikap pelit. Pelit itu telah menyuruh mereka memutuskan hubungan maka mereka memutuskan, memerintahkan mereka antuk kikir, maka mereka kikir, dan menyuruh mereka untuk berbuat fujur (penyelewengan), maka mereka pun menyeleweng. (HR.Abu Dawud, dan Hakim)
Islam juga melarang kita untuk bersikap seperti pendeta. Mereka mengharamkan kenikmatan yang halal seperti pakaian yang indah dan lain sebagainya. Padahal Allah menamakan pakaian yang indah sebagai "Perhiasan dan Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya" (Al A'raf: 32), sebagaimana Dia memberi nama makanan dan minuman dengan istilah, "Yang baik-baik dari rezeki" (Al A'raf: 32). Semua ini adalah penamaan yang bernilai memuji dan meridhai, bahkan Islam mengingkari terhadap orang yang mengharamkan hal-hal tersebut atas dirinya maupun orang lain. Allah SWT berfirman:
"Katakanlah, "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulalah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" (Al A'raf: 32)
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Al A'raf: 31)
Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah senang melihat bekas kenikmatan-Nya pada hamba-Nya. (HR. Tirmidzi)
Nabi SAW juga pernah ditanya oleh sahabatnya bahwa dia (sahabat tersebut) senang dengan keindahan, sehingga bajunya bagus dan sandalnya juga bagus, "Apakah ini termasuk sombong?," maka Nabi SAW menjawab, "Tidak, sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan, sombong adalah menolak kebenaran dan menghina (meremehkan) manusia" (HR. Muslim)
2. Kewajiban berinfaq terhadap hak-hak yang harus ditunaikan
Tidak boleh bagi seseorang pelit terhadap hak-hak yang wajib ditunaikan dengan hartanya, baik itu hak-hak yang sudah tetap, seperti zakat, nafkah kedua orang tua dan kaum kerabat yang fakir, atau hak-hak yang secara insidental, seperti menyuguh tamu, meminjami orang yang memerIukan, menolong orang yang kesulitan (terpaksa, terjepit kebutuhan), memberikan bantuan atas musibah yang menimpa ummat atau negara (daerah, tempat tinggal mereka, seperti peperangan, kelaparan dan kebakaran, mencukupi orang-orang fakir di negerinya, yang mereka sangat memerlukan bantuan ma'isyah seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya.
Islam menegaskan pentingnya hak-hak itu, sampai memperbolehkan penggunaan senjata demi membela hak-hak tersebut.
Abu Bakar pernah berperang bersama para sahabat yang ada karena masalah tidak ditunaikannya kewajiban zakat oleh suatu kaum. "Nabi SAW juga memperbolehkan kepada tamu untuk mengambil hak suguhan dari orang yang ditempati, walaupun dengan kekuatan/kekerasan. Adalah wajib bagi kaum Muslimin untuk memperhatikan hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
"Tamu mana pun yang singgah pada suatu kaum, lalu tamu itu tidak dijamu apa pun (terlantar), maka ia boleh untuk mengambil sekedar untuk suguhannya, dan tidak berdosa baginya." (HR. Ahmad dan Hakim)
Pada umumnya para fuqaha' memperbolehkan orang yang sangat memerlukan air dan makanan untuk memerangi orang yang menghalang-halangi keperluannya tanpa haq.
3. Keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran
Wajib bagi seorang Muslim untuk menyesuaikan antara pemasukan dan pengeluarannya. Jangan sampai ia menginfaqkan sepuluh, sementara pemasukannya delapan, sehingga terpaksa harus hutang dan menanggung beban dari orang yang menghutangi. Sesungguhnya hutang itu membawa keresahan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Rasulullah SAW sendiri mohon perlindungan kepada Allah dari jeratan hutang, dengan alasan bahwa seseorang itu kalau berhutang, bisa saja ia berbicara lalu berbohong, ia berjanji lalu mengingkari, sebagaimana disebutkan di dalam shahih Bukhari.
Maka infaq seseorang yang melebihi dari kemampuan harta dan pemasukannya adalah termasuk israf (berlebihan) yang tercela. Allah SWT berfirman:
"Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesunggahnnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Al A'raf: 31)
Rasulullah SAW bersabda:
"Makan dan minumlah, berpakaian dan sedekahlah, selama tidak disertai dengan berlebihan dan kesombongan." (HR. An-Nasa'i dan Ibnu Majah)
Ini adalah berinfaq dalam hal yang mubah, adapun hal-hal yang diharamkan, maka setiap dirham yang diinfakkan adalah termasuk dalam tabdzir (pemborosan).
Adapun dalam hal-hal ketaatan, seperti shadaqah, jihad dan proyek-proyek sosial, maka tidak ada israf di dalamnya selama tidak menelantarkan hak yang lebih wajib dari itu semua. Seperti hak keluarganya atau hak orang yang hutang kepadanya atau nafkah yang wajib untuk dipenuhi baginya dan lain-lain. Oleh karena itu ketika dikatakan kepada sebagian orang dermawan dari kaum munafikin dalam hal amal shalih, "Tidak ada kebaikan dalam israf (berlebihan)," maka jawabannya, "Tidak ada israf dalam kebaikan."
Islam memberikan kepada hakim (penguasa) wewenang untuk menahan atau mengatur keuangan atas setiap orang yang bodoh dan sering merusak, di mana dia mempergunakan harta tidak secara tepat. Hal ini karena ummat mempunyai hak atas harta tersebut, maka memeliharanya akan membawa manfaat bagi ummat dan membiarkannya akan membawa madharat bagi ummat. Oleh karena itu Allah SWT menyandarkan harta orang-orang bodoh (yang belum mengerti itu) kepada ummat. Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasanumu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanÉ" (An Nisa': 5)
4. Memerangi kemewahan dan para pelakunya
Satu lagi jenis berlebihan (israf) yang diharamkan oleh Islam dan akan terus diperangi karena dia dianggap dapat merusak kehidupan individu dan masyarakat. Itulah yang dinamakan "At-Taraf" (kemewahan), yaitu terlampau berlebihan dalam berbagai bentuk kenikmatan dan berbagai sarana hiburan, serta segala sesuatu yang dapat memenuhi perut dari berbagai jenis makanan dan minuman serta apa saja yang bisa menghiasi tubuh dari perhiasan dan kosmetik, atau apa saja yang memadati rumah dari perabot dan hiasan, seni dan patung serta berbagai peralatan dari emas dan perak dan sebagainya.
Sesungguhnya Al Qur'an menganggap kemewahan sebagai penghambat pertama yang akan menghalang-halangi manusia untuk mengikuti yang kebenaran (Al haq). Karena sesungguhnya kemewahan itu tidak akan membiarkan para pelakunya leluasa tanpa belenggu syahwat mereka. Maka barangsiapa yang mengajak mereka ke arah selain itu, niscaya mereka akan memusuhi dan memeranginya. Allah berfirman,
"Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu di utus untuk menyampaikannya." (Saba': 34)
Kemewahan itu memiliki beberapa akibat yang tidak bisa atau sulit dihindari oleh pelakunya seperti bermain-main, iseng dan pornografi. Kemudian menyebarluaskan degradasi moral yang itu bisa berakibat kepada pudarnya ikatan akhlaq serta meluasnya pengaruh hawa nafsu di kalangan ummat. Akibat lain adalah timbulnya kesenjangan, karena banyak orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan primer mereka, sementara sekelompok kecil dari kalangan tertentu menikmati sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah didengar oleh telinga, di antara kebutuhan sekunder, bahkan lebih dari itu. Dari sinilah maka seluruh masyarakat terancam oleh kehancuran dan siksa, akibat orang-orang yang berbuat kemewahan karena kemewahannya. Dan yang lain di luar mereka mendapat hal yang sama karena diam atau loyalitasnya terhadap mereka. Allah SWT berfirman:
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (Al lsra': 16)
Sesungguhnya Al Qur'an telah menceritakan kepada kita bahwa hamba kemewahan merupakan pihak pertama yang bertanggung jawab atas musibah yang menimpa kebanyakan ummat sebagai peringatan dari Allah. Sehingga mereka tidak memperoleh kemenangan, bahkan benar-benar mendapat adzab. Allah SWT berfirman,
"Hingga apabila Kami timpakan adzab kepada orang-orang yang hidup mewah di antara mereka, dengan serta merta mereka memekik minta tolong. Janganlah kamu memekik minta tolong pada hari ini. Sesungguhnya kamu tiada akan mendapat pertolongan dari Kami." (Al Mu'minun: 64-65)
"Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang zhalim yang telah Kami binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai penggantinya). Maka tatkala mereka merasakan adzab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari negerinya. Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada nikmat yang telah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu (yang baik) supaya kamu ditanya." (Al Anbiya': 11-13)

Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Rabu, 30 April 2008

TEORI INFLASI ISLAM

Islam tidak mengenal istilah inflasi, karena mata uangnya stabil dengan digunakannya mata uang dinar dan dirham. Penurunan nilai masih mungkin terjadi, yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu mengalami penurunan, diantaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah yang besar, tapi keadaan ini kecil sekali kemungkinannya. Ekonom Islam Taqiuddin Ahmad ibn al-Maqrizi (1364M – 1441M), yang merupakan salah satu murid Ibn Khaldun, menggolongkan inflasi dalam dua golongan yaitu natural inflation dan human error inflation.

Natural inflation

Sesuai dengan namanya natural inflation, Inflasi ini disebabkan oleh sebab alamiah yang diakibatkan oleh turunnya Penawaran agregat (AS) atau naiknya Permintaan agregat (AD), orang tidak mempunyai kendali atasnya (dalam hal mencegahnya).

MV = PT = Y

Dimana :M = Jumlah uang beredar
V = kecepatan peredaran uang
P = tingkat harga
T = jumlah barang dan jasa (Q)
Y = tingkat pendapan nasional (GDP)

Maka natural inflation dapat diartikan sebagai berikut:

Gangguan terhadap jumlah barang dan jasa (T) yang diproduksi dalam suatu perekonomian. Misal T turun, sedangkan M dan V tetap, maka konsekuensinya P akan naik.

Naiknya daya beli masyarakat secara riil, misalnya nilai ekspor lebih besar dari nilai impor sehingga secara netto terjadi impor uang yang mengakibatkan M naik, sehingga jika V dan T tetap, maka P akan naik.
Keseimbangan permintaan dan penawaran juga pernah terjadi dizaman Rasulullah SAW. Dalam hal ini Rasulullah SAW tidak mau menghentikan atau mempengaruhi pergerakan harga ini sesuai Hadist: Anas meriwayatkan, ia berkata: Orang-orang berkata kepada Rasulullah SAW, ” Wahai Rasululluah, harga-harga barang naik (mahal), tetapkanlah harga untuk kami”. Rasulullah SAW lalu menjawab,”Allah-lah Penentu harga, Penahan, Pembentang, dan Pemberi riszki. Aku berharap tatkala bertemu Allah, tidak ada seorangpun yang meminta padaku tentang adanya kedhaliman dalam urusan darah dan harta.”


Human error inflation.

Human error inflation adalah inflasi yang terjadi karena kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia sendiri (QS Ar-Rum ayat 41). Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Adapun beberapa penyebabnya di antaranya :

· Korupsi dan administrasi yang buruk (corruption and abad administration)

· Pajak yang berlebihan (excessive tax)Excessive tax dapat mengakibatkan terjadinya efficency loss atau dead weight loss. Pencetakan uang dengan maksud menarik keuntungan yang berlebihan (excessive seignorage).

·Pencetakan uang dengan maksud menarik keuntungan yang berlebihan (Escessive Seignorage)

Ekonom Islam, Al-Maqrizi berpendapat bahwa pencetakan uang yang berlebihan jelas akan mengakibatkan naiknya tingkat harga umum (inflasi). Kenaikan harga komoditi tersebut adalah kenaikan dalam bentuk jumlah uang (fulus) atau nominal, sedangkan jika diukur dalam emas (dinar emas) maka harga komoditi tersebut jarang sekali mengalami kenaikan. (baca lebih lengkap)