Rabu, 26 Maret 2008

Bank Syariah Untuk UMKM

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam perekonomian domestik semakin meningkat terutama setelah krisis 1997. UMKM mempunyai potensi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam mendukung perekonomian nasional. Pada masa krisis, UMKM menunjukkan kemampuannya dalam menghadapi krisis, sementara usaha besar banyak yang terpuruk karena banyak bergantung pada pinjaman luar negeri.

Pada tahun 2006, peran UMKM terhadap penciptaan PDB nasional tercatat sebesar Rp. 1.778,75 triliun atau 53,28 persen dari total PDB nasional, mengalami perkembangan sebesar Rp. 287,68 triliun atau 19,29 persen dibanding tahun 2005. Kontribusi Usaha Kecil tercatat sebesar Rp. 1.257,65 triliun atau 37,67 persen dan Usaha Menengah sebesar Rp. 521,09 triliun atau 15,61 persen, selebihnya sebesar Rp. 1.559,45 triliun atau 46,72 persen merupakan kontribusi Usaha Besar.

Sektor ekonomi UMKM yang memiliki proporsi unit usaha terbesar adalah sektor (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan (53,57%) (2) Perdagangan, Hotel dan Restoran (27,19%) (3) Industri Pengolahan (6,58%) (4) Jasa-jasa (6,06%) ; serta (5) Pengangkutan dan Komunikasi (5,52%)

Pada periode januari 2008 , Hingga periode Januari 2008 terdapat 3 Bank Umum Syariah, 25 Unit/Divisi Usaha Syariah dan 115 Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Pembiayaan yang disalurkan Perbankan Syariah untuk sektor UMKM tercatat sebesar Rp18,38 Triliun (67,82% dari total pembiayaan) sedangkan pembiayaan untuk sektor non-UKM sebesar Rp.8,72 Triliun (32,18% dari total pembiayaan), hal ini menunjukan peranan Bank Syariah dalam memberdayakan UMKM khususnya dalam hal pembiayaan sudah cukup tinggi meski pangsa pasar masih sangat kecil 2,79% dari total kredit perbankan nasional


Kinerja pembiayaan Bank Syariah pun cukup baik dengan tingkat pembiayaan bermasalah yang relatif kecil. Pada Januari 2008, pembiayaan bermasalah (Non-Performing Financing = NPF) Perbankan Syariah mencapai 4,18%, Dengan Financing to Deposit Ratio (FDR) nasional hingga Januari 2008 sebesar 97,87%, menunjukkan ruang untuk pemberian kredit kepada UMKM jauh lebih besar dibanding Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan nasional sebesar 69,2% dengan Non Performing Loan (NPL) sebesar 4,64

Tabel. 1 Perbandingan Pembiayaan Perbankan Syariah dengan Perbankan Nasional

Per-Januari 2008

Perbankan Syariah

Perbankan Nasional

Nilai Pembiayaan/Kredit UMKM

Financing/Loan to Deposit Ratio (FDR/LDR)

Non Performing Financing/Loan (NPF/NPL)

Rp18,38 Triliun

97,87%


4,18%

Rp.235,28 Triliun

69,2%


4,64%


Untuk itu dibutuhkan berbagai upaya dalam mendorong perbankan di satu sisi, untuk memperbesar alokasi pemberian pembiayaan kepada UMKM dan di sisi lain UMKM perlu dibantu dalam rangka mempermudah aksesnya dalam mendapatkan layanan perbankan dengan kerjasama dan dukungan dari berbagai lembaga terkait yang bergerak di sektor keuangan maupun non-keuangan yang berprinsip syariah.

Terdapat beberapa jenis lembaga keuangan syariah yang berperan namun masing-masing memiliki proses dan fokus sasaran yang berbeda.

1. Lembaga Keuangan Bank :

- Bank Indonesia (Bank Sentral)

- Bank Umum Syariah

- Unit/Divisi Usaha Syariah

- BPR Syariah

2. Lembaga Keuangan Non-Bank

- Koperasi Syariah

- BMT

- Pegadaian Syariah

- BAZ/ LAZ

Maka ketika berbicara tentang peran Bank Syariah, disini mencakup peran Bank Indonesia, Bank Umum Syariah, Unit/Divisi Usaha Syariah (dari Bank Umum Konvensional termasuk BPD) dan BPR Syariah. Lembaga Keuangan Non-Bank di fokuskan untuk mengembangkan Usaha level Mikro hingga Usaha Kecil, sedangkan Lembaga Keuangan Bank dari Usaha Level Menengah Hingga Usaha Besar

Sehingga dalam praktiknya semua bekerja sama mengembangkan sektor riil dengan fokus yang jelas yang saling mendukung. Dalam tingkatan perbankan pun, BPR Syariah memiliki fokus yang berbeda dibanding Bank Umum Syariah. Dimana Bank Umum lebih fokus untuk usaha menengah dan besar, sedangkan BPR untuk usaha menengah dan kecil. Sehingga ketika berbicara mengenai peranan Bank Syariah dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang lebih berperan adalah BPR Syariah dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah seperti Koperasi Syariah dan BMT

Namun demikian peranan Bank Umum Syariah termasuk Unit/Divisi Usaha Syariah tidak bisa lepas dalam pemberdayaan UMKM tersebut karena BPRS dan LKMS juga perlu dukungan modal yang kuat dan pengembangan dari BUS/UUS sebagai Back-Up Oleh karena itu, dalam memberikan pembiayaan dan pemberdayaan UMKM, Bank Syariah membutuhkan kerja sama yang sinergis antara BUS/UUS, BPRS dan lembaga keuangan terkait seperti LKMS atau Koperasi. Bahkan kini Badan/Lembaga Amil Zakat pun telah memiliki program pengembangan dan pemberdayaan UMKM dalam rangka menyalurkan dana ZISWAF (Zakat Infak Shadaqah dan Wakaf) untuk sektor yang produktif

Di lembaga non-keuangan terdapat benyak sekali pihak yang berkepentingan dalam pemberdayaan UMKM, diantaranya adalah pemerintah yang dekelola oleh Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) dan juga lembaga pendidikan khususnya Perguruan Tinggi

Mengingat begitu banyaknya Lembaga/Badan yang bergerak untuk memberdayakan UMKM, maka kerjasama yang sinergis mutlak dilakukan supaya setiap gerak program yang ada bisa lebih efektif dalam mencapai tujuan yang diharapkan, ketika kerjasama tidak optimal boleh jadi justru akan menghambat kemajuan UMKM itu sendiri

Beberapa uapaya yang dapat dilakukan antara lain :

  1. Optimalisasi Fungsi Intermediasi

Sebagaimana fungsi bank pada umumnya sebagai lembaga intermediasi antara sektor keuangan/ permodalan dengan sektor usaha riil , bank syariah pun tentu berupaya untuk mengoptimalkan fungsi tersebut dengan terus meningkatkan penghimpunan dana yang akan berimbas pada peningkatan penyaluran permodalan kepada pelaku UMKM mengingat masih minimnya akses pelaku UMKM terhadap perbankan dan masih rendahnya pangsa pasar perbankan syariah dibandingkan perbankan nasional secara keseluruhan

  1. Program Kemitraan dan Jaringan

Merupakan salah satu upaya pengembangan UMKM dengan melibatkan Usaha Menengah/Usaha Besar (UM/UB) sebagai mitra untuk saling bekerjasama. Selaras dengan UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, kemitraan didefinisikan sebagai kerjasama yang saling menguntungkan antara UMKM dengan usaha besar maupun usaha mikro dan kecil dengan usaha menengah yang didasarkan suatu kontrak atau perjanjian tertulis maupun tidak, disertai dengan upaya pembinaan dan pengembangan oleh mitra UM/UB dengan memperhatikan prinsip saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan

  1. Pendampingan, Pembinaan dan Konsultasi

Dengan sistem bagi hasil yang adil dimana keuntungan dan kerugian ditanggung bersama, jika usaha yang dibiayai bank syariah mengalami kerugian maka bank pun ikut mendapatkan kerugian maka bank syariah otomatis harus memperhatikan dan menjaga

supaya usaha yang dibiayai bisa berjalan dengan baik dan mengasilkan keuntungan.

Artinya bank syariah harus terlibat didalamnya untuk mengupayakan pertumbuhan dan kemajuan UMKM, sederhananya mengusahakan bagaimana caranya Usaha Mikro bisa maju menjadi Usaha Kecil, Usaha Kecil bisa maju menjadi Usaha Menengah, dan bagaimana caranya usaha menengah bisa maju menjadi Usaha Besar dan seterusnya.

Hal itu penting juga bagi Perbankan Syariah karena secara tidak langsung kemajuan UMKM akan memajukan Bank Syariah juga sehingga perbankan syariah bisa lebih kokoh karena memiliki basis sektor riil yang maju dan berkembang

  1. Pengembangan Inkubasi Bisnis (INBIS)

Berdasarkan riset yang dilakukan Bank Indonesia, Pengembangan INBIS melibatkan perguruan tinggi sebagai upaya mempersiapkan perguruan tinggi menuju entrepreneurial university melalui pengembangan budaya kewirausahaan dengan cara

a. Menumbuhkembangkan budaya kewirausahaan di lingkungan perguruan tinggi.

b. Mewujudkan sinergi potensi perguruan tinggi dengan potensi dunia usaha sehingga dapat menumbuhkembangkan IPTEK sesuai kebutuhan.

c. Mendorong pemanfaatan potensi bisnis akademik dan nonakademik yang bernilai komersial.

d. Meningkatkan peluang keberhasilan wirausaha baru melalui kegiatan pelayanan konsultasi terpadu.

e. Menumbuhkembangkan kegiatan-kegiatan yang mendorong terwujudnya unit-unit usaha sebagai sumber pendapatan (income generating unit) di perguruan tinggi dalam mengantisipasi otonomi perguruan tinggi.

Lembaga/departemen yang berperan dalam Inkubator Bisnis antara lain Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Penelitian dan Pengkajian Teknologi (BPPT) Kementerian Riset dan Teknologi serta Departemen Pendidikan Nasional.

Senin, 17 Maret 2008

Perkembangan Bank Syariah Indonesia

Gerakan lembaga keuangan Islam modern dimulai dengan didirikannya sebuah local saving bank yang beroperasi tanpa bunga di desa Mit Ghamir di tepi sungai Nil Mesir pada yahun 1969 oleh Dr. Abdul Hamid An Naggar [1]. Walaupun beberapa tahun kemudian tutup karena masalah manajemen, bank lokal ini telah mengilhami diadakannya konferensi ekonomi Islam pertama di Makkah pada tahun 1975. Sebagai tindak lanjut rekomendasi dari konferensi tersebut, dua tahun kemudian, lahirlah Islamic Development Bank (IDB) yang kemudian diikuti oleh pendirian lembaga-lembaga keuangan Islam di berbagai negara, termasuk negara-negara bukan anggota OKI, seperti Philipina, Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Rusia.

Upaya intensif pendirian Bank Islam [2] di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang mengatur tentang deregulasi industri perbankan di Indonesia. Para ulama waktu itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen).

Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua (Bogor) pada tanggal 19-22 Agustus 1990 yang kemudian diikuti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di mana perbankan bagi hasil diakomodasikan, maka Bank Muamalat Indonesia merupakan Bank Umum Islam pertama yang beroperasi di Indonesia. Pendirian Bank Muamalat ini diikuti oleh pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Namun karena lembaga ini masih dirasakan kurang mencukupi dan belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Baitul Maal wat Tamwil (BMT).

Setelah dua tahun beroperasi, Bank Muamalat mensponsori pendirian asuransi Islam pertama di Indonesia yaitu Syarikat Takaful Indonesia dan menjadi salah satu pemegang sahamnya. Selanjutnya pada tahun 1997, Bank Muamalat mensponsori Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah yang kemudian diikuti oleh beroperasinya lembaga reksadana syariah oleh PT. Danareksa. Di tahun yang sama pula, berdiri sebuah lembaga pembiayaan (multifinance) syariah, yaitu BNI-Faisal Islamic Finance Company.

Selama lebih dari enam tahun beroperasi, kecuali Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, praktis tidak ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung sistim beroperasinya Perbankan Syariah. Ketiadaan perangkat hukum pendukung ini memaksa Perbankan Syariah menyesuaikan produk-produknya dengan hukum positif yang berlaku (yang nota bene berbasis bunga/konvensional), di Indonesia. Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat padanya menjadi tersamar dan Bank Islam di Indonesia tampil seperti layaknya bank konvensional.

Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka secara tegas Sistem Perbankan Syariah ditempatkan sebagai bagian dari sistim perbankan nasional. UU tersebut telah diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu tentang Bank Umum, Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BPR Berdasarkan Prinsip Syariah. Perangkat hukum itu diharapkan telah memberikan dasar hukum yang lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia.

1 Ahmad An Naggar, Muhafazah wal Mu’asaroh; Dirasah fiil Masrafiyah Laa Ribawiyah, Darul Kutub, Kairo, 1985.

2 Dalam Peraturan perundang-undangan Indonesia, Bank Islam disebut sebagai Bank Syariah


Strategi Umar bin Abdul Aziz Dalam Membangun Ekonomi

Umar bin Abdul Aziz telah menjadi proklamator dalam melakukan reformasi ekonomi dalam bentuk kebijakan pembangunan ekonomi modern, yang berhasil mencapai keseimbangan antara kekuatan supply and demand bahkan terjadi surplus pendapatan dalam neraca anggaran negara, tidak lain semua anggaran itu dipergunakan untuk memperbaiki kondisi rakyatnya dalam semua dimensi baik dalam dimensi spiritual maupun matriil, untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya sehingga semuanya hidup dalam peringkat ekonomi yang cukup (kemiskinan dan pengangguran tidak didapatkan pada masa kepemimpinannya), dan tercapailah keadilan dalam pendistribusian kekayaan (anggaran) kepada rakyatnya, dan Umar Bin Abdul Aziz selalu menghimbau kepada rakyatnya untuk selalu melakukan investasi dalam berbagai bentuk dan juga menerapkan sistem perpajakan untuk mencapai keseimbangan ekonomi, secara ringkasnya Umar bin Aziz telah mampu mendesain rakyatnya dengan kemakmuran dan kesejahteraan, yang mana sistem konvensional tidak akan bisa mencapai target ekonomi yang mengagumkan ini.

Hal ini juga diakui Rogeh Garudi (penulis Prancis dalam bukunya kembali ke Islam), dia mengatakan: "Konsep ekonomi Islam sangat kontradiksi dengan ekonomi yang dipahami barat, yang mana ekonomi hanya dipahami sebatas produksi dan konsumsi sebagai tujuan utamanya; bagaimana dapat memproduksi sebesar-besar sehingga dapat menkonsumsi sebanyak-banyaknya baik komoditi itu bermanfaat maupun tidak, dengan tidak memperhatikan tujuan-tujuan hidup kemanusiaan, sedangkan dalam ekonomi Islam tidak hanya bertujuan pada pertumbuhan saja, tapi bagaimana dapat mencapai keseimbangan"( Hasan Taqi : 1402 H, hal. 102).

Maka untuk menciptakan rakyatnya dalam desain kemakmuran dan kesejahteraan Umar bin Abdul Aziz mengimplementasikan strategi-strategi kebijakan ekonomi sebagai berikut:Pertama: Memberikan solusi terhadap "Problematika Ekonomi", Problematika ekonomi akan terjadi apabila sumber ekonomi terbatas, akan tetapi kebutuhan manusia sangat beragam. Maka dari sini sumber permasalahan ekonomi adalah dua hal pokok,

a. Sumber ekonomi, dan

b. Kebutuhan ekonomi, baik dalam tingkat individu, keluarga, masyarakat dan negara.


Maka upaya Umar bin Abdul Aziz dalam memberikan solusi atas problem pertama adalah :

Pertama dengan memberantas korupsi dari para koruptor baik dari kelas kakap sampai kelas teri. Agar semua kekayaan itu dikembalikan kepada negara.

Kedua dengan merekonstruksi sistem perpajakan, yang mana pada waktu itu banyak para pejabat yang tidak membayar pajak, akan tetapi rakyat kecil lah yang dikenai pajak yang melampui batas. Sehingga semua ini membutuhkan reformasi sistem perpajakan agar menjadi adil dalam pemasukan anggaran negara.

Ketiga, penghematan anggaran dalam pemberian fasilitas pejabat negara dan juga penghematan dalam perayaan peringatan hari besar keagamaan dan kenegaraan.


Sedangkan dalam memberikan solusi problematika kedua adalah :

Pertama : Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijakan dengan berdasarkan Instruksinya kepada para menterinya dengan mengatakan:

"Wajib bagi orang muslim -(dengan kata muslim sebab mayoritas rakyatnya adalah muslim artinya adalah semua rakyatnya baik muslim dan non-muslim)- mempunyai rumah untuk bersinggah, pembantu yang dapat meringankan tugasnya, kendaraan untuk mencari pendapatan (kalau masa dulu kendaraan untuk berjihad), dan terpenuhinya perlengkapan rumah tangga".

Dan semua kebutuhan rakyat ini dipenuhi pada masa Umar bin Abdul Aziz. Hingga Umar bin Abdul Aziz mengatakan kepada rakyatnya: "Apa-apa yang kalian inginkan kirimkan surat kepadaku pasti aku penuhi". Maka pada waktu itu sistem takaful sosial (jaminan sosial sudah diimplementasikan secara penuh). Kebutuhan-kebutuhan rakyat semua telah dipenuhi baik yang bersifat kebutuhan dasar ekonomi, sosial maupun pendidikan dan kesehatan. Semua gaji pegawai yang asalnya kecil dapat dinaikan bahkan dalam suatu riwayat Umar bin Abdul Aziz setiap hari memanggil-manggil

" Aina al- Muhtajun? Aina al-Ghorimun Aina an-Nakihun?" (Mana rakyatku yang membutuhkan bantuan? Mana orang-orang yang banyak hutangnya? Mana orang-orang mau menikah tapi tidak punya modal? Maka akan aku penuhi kebutuhan-kebutuhan kalian).

Dan semua kebutuhan rakyatnya telah terpenuhi pada masa Umar bin Abdul Aziz.

Kedua: Mengimplementasikan Secara Penuh Dasar Hidup Kecukupan Kepada Semua Rakyatnya. Maka dalam menerapkan kebijakan ini, Umar bin Abdul Aziz memulai dari diri dan keluarganya agar tidak hidup dengan bermewah-mewahan, bahkan gajinya sebagai seorang khalifah pun tidak diambil karena sudah kecukupan dari kekayaan pribadinya dan gaji tersebut diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Dasar hidup kecukupan ini, Islam telah mewajibkan kepada negara agar dapat memenuhinya sebagaimana Ibnu Taimiyah Berkata: "Agar para penguasa mengambil kekayaan dari hal yang halal dan memberikan kepada orang-orang yang berhak". Dasar ini juga mengambil intisari QS. Al-Hasyr: 7, yang mengatakan:

" Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu".

Yang diimplementasikan Rasul, Saw. Dalam hadisnya yang diriwayatkan Bukhori dalam sahihnya berbunyi:

"Barang siapa yang kaya agar dia dapat duduk dengan orang yang fakir dan barang siapa yang mempunyai kekayaan lebih agar dia duduk dengan orang yang kekurangan".

Dari contoh hadis inilah menggambarkan adanya takaful ijtimai dalam masyarakat agar tercipta masyarakat yang kecukupan. Bertitik tolak dari dasar diatas Umar bin Abdul Aziz dapat menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya melalui kebijakan pendistribusian anggaran sesuai pada tempatnya. Sebagaimana kebijakannya yang mengatakan:

"Saya sangat senang agar para orang kaya (konglomerat) berkumpul dan memberikan sebagian harta mereka kepada orang-orang fakir, sehingga kita sama dengan mereka dan saya lah yang pertama kali, kekayaanku adalah kekayaan mereka". (Khadijah Nabrawi: 1998, 57).

Pada suatu hari suatu saat rakyatnya yang bernama Anbasah bin Saad datang kepada Umar bin Abdul Aziz meminta kebutuhannya, untuk mengetahui konsep kecukupan itu (Haddu al- Kifayah). Kemudian Umar bin Abdul Aziz bertanya kepadanya: Ya, Anbasah Jika Anda memiliki harta yang halal maka cukuplah itu, dan jika harta itu haram jangan kau tambahkan keharaman itu, beritahulah kami! Apakah kamu membutuhkan bantuan? Dia menjawab tidak, kemudian Umar bertanya lagi: Apakah kamu punya hutang? Dia menjawab tidak. Kemudian Umar bin Abdul Aziz berkata:

"Bagaimana kami memberikan harta Allah kepadamu padahal kamu tidak membutuhkannya, jika Aku memberikan harta itu kepadamu berarti kami meninggalkan hak orang-orang fakir, dan jika kamu orang yang banyak hutangnya, maka akan aku penuhi hutangmu itu dan jika kamu orang yang membutuhkan maka akan aku beri kamu agar kamu dapat mandiri, Bertaqwalah kepada Allah, dari mana harta ini kami kumpulkan, intropeksilah dirimu sebelum Allah menanyakan pertanggung jawabanmu di hari kelak.

Ketiga: Mengimplementasikan Dasar ekonomi Berkeadilan Sosial dalam pendistribusian Kekayaan Rakyat. Dasar kebijakan ini sangat urgen sekali, khususnya bagi para pemegang kebijakan. Karena kefakiran dan pengangguran tidak lain disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang kurang berkeadilan sosial, sehingga berdampak pada jurang pemisah yang sangat lebar antara masyarakat kaya dan miskin.

Maka dalam mereformasi kondisi masyarakat seperti ini Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijakan redistribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat secara adil, hal itu dengan cara menginventarisir kebijakan-kebijakan pemimpin sebelumnya mana yang sudah sesuai pada tempatnya dan mana yang masih menyeleweng. Maka Umar bin Abdul Aziz mengkritik pemimpin sebelumnya (Sulaiman bin Abdul Malik) dalam strategi pemerataan pembangunan dan pendistribusian kepada rakyatnya dengan mengatakan: " Sungguh Saya melihat orang yang kaya semakin kaya dan orang yang miskin ditinggalkan dalam kondisi kefakirannya". (Siratu Umar li Ibnu Abdi al-Hakim: hal. 135).

Dari kondisi semacam ini, maka Umar bin Abdul Aziz mengambil kesimpulan bahwa kefakiran dan kemiskinan itu disebabkan kebijakan distribusi dan pemerataan kekayaan dan pendapatan yang tidak adil, sehingga Umar bin Abdul Aziz menempuh kebijakan-kebijakan:

a. Melarang kepada para pejabat negara dalam menghamburkan kekayaan umat/negara, dan memerintahkan untuk mengembalikan kekayaan negara yang telah diambilnya secara illegal, jika harta perorangan yang dirampas segera mengembalikan kepada pemiliknya, dan jika pemiliknya sudah tiada harta itu dikembalikan kepada ahli warisnya dan bila tidak didapati maka dikembalikan ke Baitul Mal.

b. Dengan memberikan bantuan kepada masyarakat miskin dan mereka dijamin hidup layak yang berkecukupan (haddu al- kifayah) dengan cara distribusi pemberdayaan zakat, pajak, khoroj, usyur (beacukai) dan lain sebagainya.

Istilah sekarang dibutuhkan pemberdayaan UMKM, Koperasi, yang mana distribusinya agar merata dan berkeadilan. Dan pemerintahlah seyogyanya yang menjemput dan memberikan tawaran pemberdayaan itu sebagaimana yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz tiap harinya selau mencari dengan mengatakan: "Mana orang yang membutuhkan? Mana orang yang banyak hutangnya? Dan mana orang yang ingin menikah tapi tidak punya modal? Semua akan dipenuhi oleh Umar bin Abdul Aziz sebagaimana yang telah kita terangkan di atas. Maka dari sini pemerintah seyogyanya mengimplementasikan kebijakan Jaminan Sosial bagi yang masyarakat yang tidak mampu bekerja dan tidak produktif.

Keempat: Menerapkan Sistem Reformasi Perpajakan untuk mencapai keseimbangan ekonomi. Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, maka sektor perpajakan adalah menjadi perhatiannya yang paling besar, karena dari sektor inilah semua sistem keadilan dan pertumbuhan ekonomi dimulai. Maka kebijakan reformasi perpajakan sangat penting, yaitu dengan menempatkan perpajakan secara proporsional, artinya; semua masyarakat dari kelas teri sampai kelas kakap semua warga negara dikenai pajak sesuai dengan banyak dan sedikitnya kekayaan yang masyarakat miliki (Kekayaan Kena Pajak (KKP)).

Karena pada masa Umawiyah sebelum Umar bin Abdul Aziz memerintah, sistem perpajakan ini sangat amburadul, dan banyak kekayaan ini didapatkan dari penindasan kepada masyarakat kecil dan para konglomerat dibebaskan dari perpajakan. Maka Umar bin Abdul Aziz menerapkan keadilan dan menempatkan kebijakan perpajakan sesuai dengan porsinya. Dan dia mengatakan bahwa Rasulullah diutus sebagai petunjuk tidak sebagai pengambil pajak. Dan perkataan ini juga dilengkapi oleh Ali, RA. "Pemimpin yang mengambil pajak dan ia tidak membangun rakyatnya, maka dia telah merusak negaranya".

Maka tujuan dari pajak tidak lain adalah sebagai modal untuk membangun negaranya dengan berkeadilan sosial. Sehingga dengan demikian jurang pemisah antara kaya dan miskin akan hilang dalam tatanan sosial, karena adanya keadilan sesuai dengan proporsinya dan batas hidup layak telah terimplementasikan sebagai buah pembangunan yang bermodalkan dari pajak, zakat, SDA dan pendapatan negara lainnya.

Kelima: Proteksi Kekayaan Negara dan Rasionalisasi Pembelajaan Anggaran. Kekayaan umum (negara). Adalah kekayaan yang bersifat umum artinya semua unsur masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab atas hal itu. Karena terlalu banyaknya kekayaan negara, otomatis proteksi ini akan melemah dan otomatis akan terjadi penyelewengan, korupsi harta negara. Maka pengawasan ini sangat penting agar kekayaan negara dapat diamankan dari tangan-tangan pencuri yang berdasi.

Sehingga langkah Umar bin Abdul Aziz dalam hal ini adalah memilih pejabatnya dari orang-orang yang amanah, professional dan tidak boros dalam membelanjakan harta negara. Maka anggaran birokrasi, fasilitas pejabat dan anggaran pembelian senjata militer harus dirasionalisasikan agar penghematan keuangan negara dapat terwujud demi mencapai pembangunan bangsa yang berkeadilan sosial, adil dan makmur.

Keenam: Mendorong Investasi dalam Berbagai sektor. Umar bin Abdul Aziz menghimbau kepada rakyatnya agar berinvestasi dalam semua bidang; industri, pertanian, biro jasa dan pelayanan, perdagangan dan semua bentuk mata pencaharian yang menghasilkan pendapatan untuk mewujudkan program hidup layak yang berkeadilan. Baik investasi ini dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Karena dalam ajaran Islam juga mendorong akan hal ini baik investasi matriil (duniawi) maupun in-matriil (akhirat).

Maka Umar bin Abdul Aziz menghimbau agar semua unsur ekonomi harus diberdayakan untuk mendapatkan pendapatan (materi/pahala) baik pemberdayaan itu berbentuk pemberdayaan SDM dengan kerja agar tidak ada pengangguran, investasi SDA dan penginvestasian modal finansial yang ada. Hal itu semua merupakan piranti/alat dalam mewujudkan kemajuan pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada pertambahan ekonomi nasional. Karena pengangguran dan kemiskinan itu tidak sesuai dengan syariah Islam, maka jangan sampai ada harta benda yang tertimbun, semua unsur kehidupan ekonomi harus berjalan sesuai dengan fungsinya demi kemanfaatan masyarakat secara luas.

Maka setelah melihat kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan Umar bin Abdul Aziz di atas, maka seyogyanya Presiden mengubah kebijakan ekonominya dari growth with equity menjadi keseimbangan growth and equity, agar pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan serta pengangguran dapat teratasi secara serentak dan berkualitas. Disisi lain dibutuhkan implementasi pemberantasan korupsi yang berkelanjutan serta reformasi sistem perpajakan nasional yang akuntansi publiknya tidak melebihi besarnya masyarakat dalam membayar zakat, hal ini dikenakan kepada semua masyarakat yang mengaku sebagai warga negara Indonsia baik dari golongan atas maupun masyarakat bawah.

Implementasi kebijakan yang kedua adalah pemerintah mementingkan tercapainya hidup layak dan sehat bagi rakyatnya sebagai program unggulan yang harus diterapkan. Dan kebijakan selanjutnya adalah pemerintah seyogyannya aktif dalam menjemput masyarakat dalam pemberdayaan pembangunan ekonomi baik yang diprogramkan dalam bentuk UMKM, Koperasi, Perkerditan Syariah melalui Bank-Bank dan lain sebagainya, Jenis program dan bantuan pemerintah ini dapat didistribusikan secara merata dan berkeadilan sehingga sasaran pembangunan pemerataan dapat tercapai.

Yang terakhir Negara seyogyanya mendorong kepada semua masyarakatnya agar mereka dapat merubah gaya hidupnya menjadi masyarakat yang produktif melalui penginvestasian semua unsure-unsur produksi, menuju kemanfaatan dunia dan akhirat. Sedangkan bagi masyarakat usia non produktif negara menjamin kehidupannya dalam program jaminan sosial dan negara memberikan seluas-luasnya kesempatan yang sama kesempatan untuk bekerja kepada masyarakatnya dan juga mempermudah semua prosedur dalam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas.