Selasa, 05 Februari 2008

Malu Hilang, Kehancuran Datang

Di suatu perkampungan miskin, tinggal sebuah keluarga kaya raya. Rumahnya bak istana, meski di kelilingi rumah-rumah gubuk dan satu dua rumah sangat sederhana. Selain tuan tanah, keluarga ini juga pedagang sekaligus rentenir.

Suatu hari anak-anaknya yang sudah beranjak dewasa dipanggil, ditanyai satu persatu tentang permintaannya. Yang pertama minta rumah dan modal kerja. Yang kedua minta mobil. Yang ketiga minta sekolah di luar negri. Begitu setrusnya, sampai pada anak yang terakhir. Si bungsu ini ketika ditanya, dengan tersipu-sipu berkata, “Malu, Bu !”.

Tanpa diduga sang Ibu menyahut, “Jika itu yang kau minta, terus terang, ibu tidak punya.”

Kisah ini tentu saja sekadar anekdot. Tetapi jangan sampai kita merasa tersindir olehnya, sekalipun kita bukan jutawan. Bukankah, soal hilangnya rasa malu, semua orang punya kemungkinan untuk mengalaminya?

Malu, pada masa kini menjadi barang yang semakin langka. Orang yang punya sifat malu semakin sedikit jumlahnya. Muka-muka tebal semakin banyak dan menyebalkan. Padahal inilah sumber bencana.

Dalam Islam, malu merupakan seumber ajaran moral. Malu merupakan karakter dasar yang membedakan moral islam dengan lainnya. Rasulullah menegaskan hal ini dalam sabdanya :

“Sesungguhnya semua agama itu punya moral, sedang moral Islam itu adalah malu.” (HR. Imam Malik)

Malu merupakan alat kontrol dan pengendali yang ampuh. Orang yang masih punya rasa malu akan berpikir seribu kali jika hendak melakukan sesuatu yang hina. Mereka malu jika sampai perbuatannya diketahui orang lain. Mereka juga malu pada dirinya sendiri. Selanjutnya mereka malu kepada ALLAH SWT.

Seorang muslim akan selalu menjaga kehormnatan dirinmya dimuka umum. Pertama-tama ia merasa malu jika mendekati tempat-tempat yang biasa digunakan untuk maksiat. Meskipun tidak berniat melakukan kemaksiatan, siapa yang dekat-dekat bias terkena fitnah. Sebab bias saja muncul prasangka pada mereka yang melihatnya berkeliaran di tempat kotor.

Kedua, jika terlanjur melakukan perbuatan salah, ia berusaha untuk menyembunyikannya. Ia malu jika perbuatan itu sampai terlihat atau terdengar orang. Dalam dirinya timbul rasa penyesalan yang mendalam, juga permohonan ampunan. Ia rahasiakan kesalahannya serapat mungkin, bahkan kepada ALLAH ia meminta agar kesalahannya ditutupi.

Sikap seperti ini bukan termasuk kategori munafik, karena dilandasi rasa malu jika perbuatan jeleknya diketahui orang lain. Berbeda halnya dengan mereka yang sudah tidak punya lagi rasa malu. Mereka terang-terangan melakukan perbuatan maksiat di muka umum. Mereka tidak merasa perlu menyembunyikannya, bahkan kadang bagga menceritakannya kepada orang lain.

Adalah kesalahan besar, jika seseorang melakukan maksiat di malam hari kemudian menceritakannya keesokan harinya, padahal ALLAH telah menutupinya hingga pagi. Lebih jahat lagi jika ada rasa bangga menceritakan keburukan itu. Orang seperti ini sudah tidak punya malu lagi.

Malu adalah bagian dari iman. Keduanya merupakan dua sejoli yang tidak bias dipisahkan. Antara keduanya terjalin suatu kaitan yang erat dan utuh. Tidak beriman orang yang tidak punya perasaan malu. Sebaliknya, tiada malu bagi orang yang tak beriman. Tentang hal ini Rasulullah menegaskan :

“Rasa malu dan iman sebenarnya berpadu menjadi satu, maka bilamana lenyap salah satunya, maka lenyap pula yang lainnya.” (HR. Al Hakim)

Antara malu dan iman itu bagaikan dua sisi mata uang. Bila salah satu sisinya kosong, maka bukan mata uang lagi namanya. Uang tidak bias dijadikan alat tukar, dan tidak laku di pasaran, bahkan pembawanya bisa dituntut sebagai pelaku pemalsuan.

Rasa malu itu tidak akan berdampak kecuali kebagusan. Siapapun yang menyandang perasaan ini, pasti menjadi bagus. Tutur katanya teratur tanpa kata-kata kotor dan kasar. Hati-hati dalam berbuat, karena merasa selalu dalam pantauan. Dinding-dinding tembok seakan ikut memperhatikan, pepohonan yang rindang ikut menjadi saksi, binatang dan makhluq hidup lainnya seakan ikut memandang. Tumbuh perasaan malu kepada alam.

Sebenarnya, orang seperti ini tidak saja malu kepada alam, tetapi lebih jauh ia malu kepada pencipta alam, ALLAH SWT. Bagaimana kita tidak malu kepada ALLAH, sedang kita makan dari kemurahan-Nya, bernafas dengan udara-Nya, berjalan di atas bujmi-Nya, dan bernaung di bawah langit-Nya ?

Sangat keterlaluan jika ada di antara kta yang tidak malu kepada ALLAH, sementara nikmat ALLAH tak ada putus-putusnya dikaruniakan kepada kita. Jika dihitung, tak ternilai banyaknya. Rasulullah berpesan, “Malulah kamu kepada ALLAH dengan sebenar-benarnya.” Kami berkata, ‘Alhamdulillah, kami sudah merasa malu kepada ALLAH, wahai Rasulullah’. Selanjutnya Rasulullah bersabda, ‘Bukan begitu, bukan sekadar bicara. Malu kepada ALLAH yang sebenar-benarnya ialah hendaknya kalian memelihara kepala dan isinya, memelihara perut serta isi kandungannya, memelihara hati dan kebusukannya. Barang siapa mengharapkan kehidupan akhirat, ia tidak terpedaya hiasan dunia. Barang siapa melaksanakan itu semua, maka ia telah merasa malu kepada Tuhannya dengan sebaik-baiknya.” (HR. Turmudzi)

Malu merupakan sumber kebaikan dan kebagusan. Perasaan malu akan membawa semua orang kepada jalan kebenaran. Malu tak ubahnya dengan pagar jembatan yang besar sekali fungsinya bagi yang melewati. Tanpa pagar itu orang mudah tercebur ke sungai. Rasulullah mempersonifikasikan rasa malu ini dengan indah sekali lewat sabdanya, “Jika rasa malu diumpamakan seorang laki-laki, maka ia ibarat seorang laki-laki yang shalih. Sebaliknya, seandainya sifat keji itu diumpamakan seorang laki-laki, maka ia adalah lelaki yang jahat.” (HR. Thabrani)

Ada hubungan yang jelas antara iman, rasa malu dan kebaikan. Sebaliknya ada juga kaitan antara hilangnya rasa malu dengan tindak kejahatan. Adapun antara rasa malu dengan kejahatan tidak pernah bias disatukan. Keduanya selalu bertentangan, bagaikan gelap dengan terang. Jika gelap dating, maka terang menghilang. Begitu sebaliknya.

Orang-orang yang melakukan korupsi, kolusi dan manipulasi pada dasarnya adalah mereka yang tidak punya rasa malu. Ia tidak malu kepada rakyat yang dipimpinnya. Tidak malu kepada hati nuraninya sendiri. Ia juga tidak malu kepada ALLAH SWT. Ia hanya malu kepada syetan.

Orang yang tidak punya malu, jika bersalah tidak segera mengakui kesalahannya. Ia malah mencari kambing hitam. Tanpa malu dan sungkan bawahannya dijadikan korban. Main tuduh seenaknya, main pecat semaunya.

Jika masih ada rasa malu semestinya semua yang terlibat dalam manipulasi Eddy Tansil segera mundur dari jabatannya. Bagaimana bias tetap menampakkan wajahnya kepada rakyat sementara mereka bergelimang dengan berbagai dosa ? Semestinya mereka menyembunyikan wajahnya, undur diri dari jabatannya.

Demikian halnya dengan kasus yang baru-baru ini terjadi. Jika benar bahwa proyek Busang hanya akal-akalan yang dilakukan oleh pengusaha petualang, sungguh sangat memalukan !

Bagaimana mungkin bangsa besar yang penduduknya mencapai 200 juta bias dipermainkan oleh segelintir orang ? Apakah di sini tidak ada orang ahli ? Apakah keahlian kita sekedar meneken kontrak karya ? Siapa yang paling bertanggung jasab dalam kasus ini ?

Inilah susahnya jika rasa malu telah hilang dari masyarakat kita. Sudah dipermalukan masih saja berkelit. Sudah coreng-moreng muka kita masih bias bergaya.

Jika ALLAH hendak membinasakan suatu bangsa, maka yang pertama dilenyapkan adalah perasaan malu. Jika malu tidak ada, maka orang akan berbuat semaunya. Kemungkaran segera merajalela, tindak kejahatan terjadi dimana-mana. Orang tidak lagi peduli dengan apapun dan tidak khawatir dengan celaan siapapun. Perilakunya menjadi ganas, tak segan-segan berbuat aniaya terhadap siapapun.

Jika para wanita sudah tidak lagi malu memamerkan auratnya dan kaum laki-laki tak segan melecehkannya, maka bias diduga apa akibatnya.

Jika penjahat tal lagi segan melakukan aksinya di muka umum, mak itu pertanda kiamat telah tiba. Biar ‘dipetrus’ berkali-kali tetap akan muncul lagi. Bahkan mereka akan bertambah brutal lagi. Semakin kejam dan sadis.

Tidak ada cara yang paling ampuh untuk menanggulangi segala tindak kejahatan kecuali menumbuhkan iman dan rasa malu. Jika iman dan rasa malu menghiasi setiap orang, maka negara itu dijamin pasti aman.

Minggu, 03 Februari 2008

SELAGI ADA KESEMPATAN!

SELAGI ADA KESEMPATAN !

( Helvy Tiana Rossa : Hari-hari Cinta Tiara )

“ Hup ! “

Dengan seenaknya Vidi melompat ke motor seorang tukang ojek. “Pegang kencang-kencanglah, nanti kalo jato pula anak orang, cemmana nasib awak_awak pula yang kena!”, tutur si Abang. “Veteran Bang ! cepat sikitlah !”, dan motor ojekan itu pun melaju.

Tak berapa lama Vidi telah tiba di depan rumahnya. Belum lagi membuka pintu pagar, Vidi sudah melepas jilbab putih yang sedari tadi dia kenakan. “Gerah ‘kali”, batinnya. Dengan ringan kemudian ia melangkah masuk ke halaman. “Vidiii..! Vidi ??? As…salaam…as..”. “ Hai, Rizal !”, Vidi membalas sapa Rizal yang lewat di depan rumahnya. Jilbabnya ia lambaikan kearah Rizal dengan riang. “ Tak mampir dulu ?”

Rizal hanya ternganga. Mulutnya membentuk huruf O !, Ketua OSIS Madrasah Aliyah Negeri Medan itu pun buru-buru berlalu.

Bukan mau Vidi sekolah di Madrasah Aliyah Negeri itu. Tapi mau bagaimana lagi ? ia tak berhasil masuk ke SLTA Negeri yang ada di Rayonnya. Akhirnya ia pun’ terpaksa’ mengikuti tes untuk masuk MAN. Mamak dan bapak yang menyuruhnya!.

“ Dari dulu bapak lebih suka kau sekolah di Aliyah, lulus itu terserah kaulah, meski bapak lebih suka lihat di IAIN, paham Agama_lagi berbudi jadi ustadzah seperti si mamak”, nasihat bapak waktu itu.

“Kalu perlu lebih lagi dari mamak. Pigi ke Arab sana. Paling tidak begitu pulang, Al-Quran kau punya !’’, mamak nimbrung menasihati putri tunggalnya itu. Huh norak ! kuno !!Tetapi akhirnya ya seperti itulah , Vidi masuk MAN. Seminggu, dua minggu, sebulan sekolah disana Vidi selalu pergi dan pulang sekolah dengan wajah bertekuk-tekuk. Dia kesal sekali! Setiap ke sekolah dia harus mengenakan jilbab!, hal yang sejak dulu disuruh oleh bapak dan mamak, namun selalu ditolaknya mentah-mentah, kini menjadi kewajiban di MAN itu.

“ Vidi tau itu wajib, Vidi mau!, tapi nanti_mak nanti ! kalau Vidi sudah married atau kalau sudah tua !”, katanya kepada mamak dan bapak waktu itu.

Sekarang sebodo amat, pikir Vidi. Begitu keluar dari pintu gerbang Madrasah Aliyah itu, sering ia langsung membuka jilbab yang dikenakannya. Dan hanya beberapa teman saja yang memandangnya keheranan. Yang lain banyak yang melakukan hal yang sama dengan Vidi!.Ada Rita, Rini, Rumondang, si Butet, Tati, Ipah, Nisa, Khoir, dan banyak lagi anak-anak ‘modern’ lainnya. Mereka juga masuk MAN karena merasa terpaksa, sekali lagi terpaksa!

“ Alaah..peduli apa..Lihat saja ‘kak Rena dan ‘kak Glena, tetangga dekat rumahku tiu. Biar kuliah di IAIN, kalu di rumah atau pergi kemana-mana tak pernah pakai jilbab!, cuma kalau kuliah!. Nisa si Anak Pesantren juga begitu!, lagian…”, Butet tak meneruskan kata-katanya.

“Apa ‘Tet ?”, tanya Vidi. “ Ssst..he..he..he…, nggak boleh tuh sama pacarnya !’’. ‘’ Hua…ha..ha..ha.. ‘’, tawa mereke serempak.

‘’ Eee…anak Madrasah mana boleh ketawa ‘ngakak macam itu? “, mimik Rita pura-pura menegur.

« Huu..suka-sukalah ! »

« Aku suka kamu Vidi ! »

Itu kata Ramli sebulan yang lalu, kakak kelasnya di Madrasah alias si Wakil Ketua OSIS. Lumayan lah orangnya.

« Boleh, malam minggu ke rumahmu ?”

“ Jangan senekad itu dulu. Kau tahu kan bapakku Ustadz, mamakku Ustadzah. Mereka bilang pacaran itu gak boleh, itu tak islami. Maklum, namanya orang jaman dulu…”

“ Lalu bagaimana ? “

“ Kalau mau jumpa, di rumah si Butet saja”, usul Vidi.

Dan bagi Vidi kemudian, bukan masalah kalau banyak temannya di sekolah yang tahu ‘affair’nya dengan Ramli Siregar. Juga ketika Fatimah teman sebangkunya, yang berjilbab rapih dan berwajah teduh itu menasehatinya.

« Urus saja dirimu sendiri, Fatimah ! », tukas Vidi ketus. Butet disampingnya turut memanas-manas !.

« Astaghfirullah, buksn begitu Vidi !, aku hanya sayang kamu. Aku ingin kamu menjadi wanita yang mengerti hakikat nilai muslimah. Harusnya… »

« Diam ! mulutmu macam mamak-mamak saja ! »

Kesal, benci, keki, bermacam rasa tentang teman sebangkunya itu ada di dada Vidi. Sebal!; Mengapa aku harus sebangku dengan orang yang sok alim itu, pikrnya.

Tempo hari Fatimah menasehatinya soal jilbabnya yang ‘berkibaran’ kemana-mana itu, kemudian soal beberapa majalah musik dan mode yang dibawanya ke sekolah, dan kini ikut campur masalah pergaulannya , Huh!

“ ‘Fat!, kalau kamu mau melihat aku bersikap seperti kamu, tunggulah lima puluh tahun lagi! Kalau sudah nenk-nenek!”, pernah vidi berkata seperti itu. Kasar sekali memang. Habis Fatimah kuno dan menjengkelkan !, ya meski ia tetap ramah dan baik kepada Vidi.

“ Vid, ini ada srat panggilan ke ruang guru! »Ups ! suara Butet mengagetkannya !.

« Kau akan mewakili Madrasah dalam Musabaqah Tilawatil Quran tingkat SLTA sekota Medan. Semua guru sepakat kau adalah yang terbaik yang kami punya », kata Mudir Aliyah sore itu. « Selamat berlomba Vidi ! »

Vidi tersenyum cerah..

Sejak dulu, sejak SD ia kerap menjuarai MTQ. Bukan cuma suara dan lantunan nadanya saja yang bagus, ia menguasai seluk beluk tilawah yang baik dan benar. Tahu betul Makhrojil hurufnya. Mamak dan baoak yang mengajarkan. Dan Vidi bangga. Banyak temannya yang bahkan berjilbab rapi seperti Fatimah atau Rian yang kalah bagus dengannya kalau untuk urusan membaca Quran yang baik dan benar. Sungguh !

« Biar gini-gini aku jago baca Quran kayak Mel Shandy. Biar Rocker tapi …Weiss! Qoriah! Ha..ha..”, ujar Vidi riang. Ramli dan Butet nyengir ikutan bangga. Apalagi ketika seminggu kemudian Vidi memenangkan MTQ tersebut. Wuihh..

« Al-Quran tak hanya untuk dilombakan seperti itu, tetapi untuk dipahami, dihayati, dan diamalkan. Aku berdo’a kepada Allah agar kau mendapat hidayah –Nya, Vidi », kata Fatimah begitu mendengar tentang kemenangan Vidi tersebut. « Apalagi…kamu anak Madrasah. »

Vidi cemberut. Perkataan Fatimah mirip sekali dengan yang dikatakan bapak dan mamak.

“ Kapan kamu berubah Vidi ? mencintai Islam dengan sepenuh hatimu. Mencintai Allah dan Rosul diatas segalanya ?, Masya Allah, Vidi, kamu bisa berbuat banyak dari sekedar ikut MTQ”, kata Fatimah lagi.

Entah kenapa lama-lama Vidi agak terharu juga mendengar kata-kata Fatimah itu.

“ Aku kan berubah, akan !, tetapi tidak sekarang. Selalu masih ada tahun-tahun yang akan datang. Aku juga ingin serius menjalankan agama ini, tetapi aku belum mampu ».

Fatimah memandang Vidi dalam.

« Oke, aku majukan target deh..Tidak usah lima puluh tahun lagi. Kelak bila aku sudah menikah aku akan pakai jilbab dan berlaku manis ». Vidi tertawa lagi.

« Eh sama ! aku juga !, masih ada hari esok ‘kan ? ujar Butet nimbrung.

Minggu akhir November itu, Vidi benar-benar ceria. ‘Gang’nya Vidi, si Butet, Rita, Ipah, Khoir, Rumondang, Tati, Dita, dan Rini menghabiskan waktu di Brastagi. Minggu itu mereka benar-benar refreshing dari tugas-tugas rutin di Madrasah. Mereka pun menikmati pemandangan Brastagi yang indah, foto-foto, dan kenalan sama beberapa pengunjung disana, utamanya yang cowok-cowok !

Butet tampak begitu gembira. Seketika ia tampak begitu akrab dengan Tigor dan Har yang baru saja dikenalnya. Yang lain masih asyik memotret. Vidi santai membaca majalah remaja yang baru saja dibelinya. Wah.. hawa Brastagi benar-benar sejuk ».

Jam sudah menunjukan pukul tiga ketika mereka bersiap-siap untuk pulang. Lumayan jarak Brastagi dan Medan !, mereka tak mau ambil resiko kemalaman. Iii… a[palagi Vidi dan Butet yang perginya ‘ngumpet-ngumpet.

Semua sudah berkumpul di tempat yang telah ditentukan sebelumnya. Tetapi Butet tak ada !!

« Kemana pula sih orang itu ? centil sekali !”, suara Rumondang gusar dan ceplas ceplos.

« Aku kira kamu bersamanya, Mondang. Tadi ‘kan kamu dan Butet ngobrol-ngobrol sama dua cowok itu », kata Vidi sedikit resah.

« Iya.., tapi kemudian mereka bertiga pergi.Aku ‘nggak ikut ! ».

« Kemana Mondang ? ».

« Mana ku tahu ? restoran barangkali ! ».

Dada Vidi berdebar keras. Ia mulai cemas.

Satu jam kemudian Butet belum juga kembali. Teman-teman yang lain takut kemalaman.

« Mungkin sudah pulang ‘Di, kita jalan saja lah ! », kali ini suara Rita dan Khoir.

« Tidak !!, Butet mana berani pulang sendiri ? harus ada aku yang mengantarnya, kalau ia tak mau kena marah mamaknya », tegas Vidi.

« Kita berpencar dua-dua mencarinya. Satu jam lagi semua sudah ada disini kembali ! ».

Bersama Rita, Vidi mencari Butet. Menjelajahi jalan-jalan indah disekitar Brastagi. Sia-sia. Butet tak ditemukan jua !.

« Kalau kesana-sana mungkin tidak Rit ? »

“ Eee… semak-semak seperti itu mana pernah dilintasi orang!”, tukas Rita. Saat itu mereka sampai diujung jalan keindahan Brastagi. Didepan mereka kini adalah semacam belantara dengan jalan terjal yang mendaki.

“ Ya…Allah! ”, Vidi berjongkok dan memungut sesuatu.

“ Apa ? «

« Ini saputangan Butet ! aku memberikannya saat ia ulang tahun ! Rita , pasti ia sempat berada disekitar sini », suara Vidi agak gemetar.

« Kita kembali saja Vidi, sudah sore ! teman-teman pasti sudah menunggu ! ».

« Tidak !! kita akan kesana », tangan Vidi menunjuk belantara dihadapan mereka.

« Aku.., aku..takuut.. ! »

Vidi menarik tangan Rita. Jantungnya berdetak lebuh keras. Tak mungkin, tak mungkin dia kesini, bisik hati Vidi. Tetapi…

« Aah… !!!! », Vidi dan Rita berteriak sekeras-kerasnya !

Butet terkapar di semak-semak !, pakaiannya tak karuan! Matanya terbelalak keluar!, sebilah belati menancap di dadanya.

Vidi kian histeris, sementara Rita pingsan.

Sejak kematian Butet, Vidi jadi pendiam dan sering menyendiri. Beberapa kali ia sempat ke kantor Polisi untuk mengidentifikasi beberapa foto preman Medan yang dicurigai pemerkosa dan pembunuh Butet. Ya ! orang yang mengaku Tigor dan Har itu!.

“ Ajal seseorang itu seperti yang ditakdirkan Allah. Kita tak pernah tahu kapan ia datang, tetapi pasti tiba. Mungkin lima puluh tahun lagi..mungkin sekarang sepulang kita dari sekolah. Allahu a’lam. Siapa yang menyangka tak ada lagi hari esok untuk Butet », ujar Fatimah sedih.

Vidi diam saja. Ia tak bisa melepaskan bayangan Butet saat dengan bangga Butet menunjukan baju mini tak berlengan itu.

“ Cantik ‘kan ? kembang-kembang dengan warna dasar Peach!”, ujar waktu itu.

“ Kalau aku sih ‘nggak berani pakai baju seperti itu. Wah.., apalagi kalau mamak dan bapak lihat, bisa dibilas habis lah!”, tukas Vidi.

Dan mereka berdua tertawa. Baju itu pula yang dipakai Butet saat tragedi berdarah itu terjadi!.

Ups ! Vidi mencoba memejamkan mata. Bayangan Butet tak bisa hilang. Astaghfirullah…dimana, bagaimana, apa yang dialami Butet sekarang dialam kubur? Apa…apa yang…, Astaghfirullah. Siapakah yang tahu akan ajal seseorang?.

Bagaimanakah kalau ia esok mati?

Vidi gemetar. Malam itu ia shalat Isya lama sekali. Saat tilawah Quran Vidi menangis!, hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

Sudah dua hari ini Fatimah tidak masuk sekolah. Katanya sih cuma demam. Yang jelas Vidi merasa kehilangan. Akhir-akhir ini ia merasa membutuhkan Fatimah. Ia butuh mendengar kata-kata bijak, nasihat, kecaman, atau apa saja lah dari Fatimah. Hari ini ia ingin sekali bercerita kepada Fatimah bahwa hubungannya dengan bapak dan mamak sudah semakin baik dan indah. Juga tentang rencananya hari ini untuk memutuskan hubungan dengan Ramli Siregar. Tentang surat “PHK” yang dikirimkannya untuk anak itu. Lalu tentang rencananya untuk memakai jilbab tahun depan!, ya..satu setengah bulan lagi!

Entahlah.., kata mamak Allah memang Maha Pembolak Balik Hati. Mungkin saat ini Vidi merasa mendapat Taufik dan Hidayah-Nya. Astaghfirullah…, tadi pagi Vidi membaca berita di koran tentang gunung Merapi yang meletus tiba-tiba!. Tak ada yang mengira!. Badan Vulkanologi pun terkejut. Ribuan orang terluka dan kehilangan harta, tempat tinggal, juga nyawa!. Innalillahi!. Kemudian berita tentang Bosnia. Wajah sendu muslimah-muslimah kecil yang rapi beljilbab itu terekam jelas dalam ingatannya…, wajah Butet….!

“ Vidi, kamu lain sekarang!”, sapa Rumondang mengejutkan Vidi.

Vidi tersenyum. “ Lain apanya sih?, sama saja!”.

“ Lebih alim! Ha..ha..ha..”, Rumondang, Rita, Ipah serempak menjawab.

“ Ooo.. aku cuma merenungi hakikat kehidupan yang fana ini. Mungkin sudah saatnya untuk lebih dekat dengan sang Pencipta”, ujar Vidi.

“ Oh iya, aku mau menjenguk Fatimah nih…ada yang mau ikut?”.

“ Tumben Di, biasanya kamu senang kalau dia tak masuk!”, protes Ipah.

“ Siapa bilang?, aku kangen!”

Ala mak.., cuma sakit panas. Besok juga masuk!”, tukas Rumondang.

“ Benar Fat ! tahun depan aku mau berubah!, mau pakai jilbab, nggak cuma kalau sekolah! Kaffah!!”, seru Vidi antusias.

Fatimah tersenyum. “ Alhamdulillah…”, wajah pucatnya terlihat sangat gembira. “ Satu setengah bulan lagi ya ‘Di ?”.

“ Iyalah sebentar lagi!”, Vidi tertawa. “ Siregar pun sudah aku putusin. Aku mau konsentrasi sekolah dan mulai mendalami agama”.

“ Alhamdulillah…”, sahut Fatimah lagi. “ Maaf, jam berapa sekarang Vidi ?”.

“ Udah masuk Ashar!”

Tak lama tante Lubis, mamak Fatimah membimbing Fatimah ke kamar mandi.

Vidi juga segera berwudlu dan berjamaah dengan tante Lubis. Mamak Fatimah yang cantik ini pun berjilbab rapi sekali. Selesai shalat Vidi baru ingat, masya Allah..ia ada janji dengan mamak dan bapak untuk pergi ke rumah Nek Banun!.

Vidi masuk ke kamar Fatimah kembali. Ia mau pamit, tetapi tampaknya Fatimah tertidur. Ah..bukankah ia baru saja shlat ?

Vidi maju beberapa langkah mendekati Fatimah. Ia tidak mau mengganggu tidurnya, hanya saja entah mengapa Vidi ingin menggenggam tangan Fatimah sebelum pulang ke rumah. Digenggamnya erat tangan Fatimah. « Cepat sembuh, semoga Allah menyembuhkanmu, Amin », Do’a Vidi.

Vidi seperti merasakan keanehan. Sepertinya…sepertinya…Fatimah tak bernapas lagi!! Bagaimana? Bagaimana bisa? Atau…

“ Tante Lubis !!”, suara Vidi tersekat di kerongkongan. « Fatimah… !! apa dia… »

Tante Lubis menghampiri Fatimah, memeriksanya sebentar. Wajah tulusnya tampak sedih. Setitik air matanya jatuh. « Innalillahi Wainna Ilaihi Raji’un.. », lirih suara tante Lubis.

Vidi tercengang !! Fatimah !!, bagaimana mungkin ?, baru saja mereka bercakap-cakap, baru saja Fatimah berwudlu, baru saja…dan Ya Allah !! Fatimah hanya demam ! Hanya sakit panas, mengapa bisa mati ???

Butiran air mata deras Vidi mengalir. Tante Lubis memeluknya erat. Isak mereka hampir berbarengan. Siapa yang menyangka Fatimah akan…. Maafkan kesombongan hamba, Astaghfirullah….kata Vidi berulang kali pada diri sendiri.

Aku akan pulang dan berubah. Sekarang Fat, selagi ada kesempatan untukku!. Aku akan menjadi muslimah yang baik. Aku akan pakai jilbab itu, tidak tahun depan!. Walau tahun depan tinggal tinggal satu setengah bulan lagi, aku jadi tak yakin akan hidup selama itu. Aku bahkan tak yakin apakah masih ada hari esok untukku…

Air mata Vidi kian deras. Ia akan berubah ! Sekarang !! Detik ini jua !! sudah terlalu banyak pelajaran di depan matanya.

“ Aku datang Ya Allah tanpa mau bermain-main dengan-Mu barang sekejap pun, selagi ada kesempatan. Ya !, kesempatan yang Kau berikan kepadaku !, Bismillah… »

Esok harinya ada Vidi Jihadi yang lain di Madrasah Aliyah Medan yang bertekad kuat menjaga citra dirinya sebagai Muslimah, sebagai anak Madrasah !.

*******